Lulusan sekolah menengah kejuaran ( SMK) menjadi penyumbang tertinggi pengangguran terbuka di Indonesia. Hal ini bertolak belakang dengan rencana awal menjadikan lulusan SMK sebagai lulusan yang langsung bisa diserap oleh dunia usaha. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 7 juta pengangguran terbuka per Agustus 2018, 11,24 persennya merupakan lulusan SMK. Persentase itu lebih tinggi dari pengangguran terbuka lulusan SMA 7,95 persen, lulusan SD 2,43 persen, sedangkan untuk lulusan SMP yang menganggur ada sebanyak 4,8 persen. Baca juga: Lulusan SMK Penyumbang Penggangguran Tertinggi, Ini Kata Menaker Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro mengatakan, fakta itu menunjukkan hal yang ironis. Sebab, awalnya lulusan SMK justru diharapkan bisa langsung terserap oleh industri setelah lulus. “Ini sangat ironis,” ujarnya dalam acara seminar di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (14/1/2019). Sementara Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri menyebut adanya kecenderungan penurunan kontribusi lulusan SMK kepada tingkat pengangguran. Hal itu ia sampaikan dalam acara diskusi di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (8/11/2018). Pada 2015, persentase lulusan SMK yang menganggur 12,65 persen; pada 2016 turun jadi 11,11 persen; 2017 naik 11,41 persen; dan 2018 jadi 11,24 persen. Meski demikian, keduanya mengakui, secara umum masih banyak persoalan yang dihadapi oleh setiap lulusan jenjang pendidikan, termasuk lulusan SMK untuk masuk ke dunia kerja. Bongkar masalah Menteri Bambang menilai ada hal yang salah dari SMK di Indonesia. Gambaran besarnya, SMK yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau kebutuhan dunia usaha sehingga lulusannya jadi tak terserap. Bila ditelaah lebih dalam, Bambang menyoroti beberapa hal. Pertama soal kurikulum. Ia mengatakan, kurikulum SMK teramat sulit untuk diubah. Akibatnya, saat tantangan atau kebutuhannya zaman berubah, kurikulum di SMK tak berubah. Bambang menilai hal itu terjadi akibat adanya ego sektoral. “Harus saya akui kadang mereka mengatakan tidak mudah mengubah kurikulum. Akibatnya kita selalu terlambat. Begitu terlambat, kita menciptakan pengangguran terdidik. Seperti kasus lulusan SMK tadi,” kata dia. Baca juga: Ini 5 Provinsi dengan Persentase Tingkat Pengangguran Terbesar Kedua, Bambang menyoroti banyaknya SMK di Indonesia milik swasta, tetapi kapasitasnya kecil. Yayasan pengelola SMK tidak punya kapasitas untuk pengembangan guru, apalagi pengembangan kurikulum yang melibatkan perusahaan. Akibatnya, SMK lebih banyak mencetak lulusan, bukan mencetak tenaga kerja. Ketiga, persolan guru. Bambang mendapatkan informasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tak banyak guru produktif atau guru yang ahli sesuai bidang kejuruan di SMK tersebut. “Persentasenya sama bahkan kalah dengan guru normatif. Guru normatif itu guru agama, guru bahasa, guru untuk pelajaran yang bukan inti dari SMK itu,” kata dia. Untuk mengurai satu per satu akar masalah itu, pemerintah pusat bersama Pemda kata Bambang, sudah memulai melakukan terobosan. Di antaranya mendirikan SMK-SMK percontohan di beberapa daerah. SMK percontohan fokus kepada kebutuhan tenaga kerja di daerah tersebut. Misalnya SMK yang fokus ke industri furniture lantaran daerahnya memiliki keunggulan di bidang usaha furniture. Sementara terkait dengan keterbatasan guru produksi, pemerintah akan menarik lebih banyak tenaga ahli di bidangnya untuk mengajar atau menjadi instruktur di SMK. “Banyak orang yang tidak hanya pensiunan, tetapi orang yang sudah bekerja di bidangnya tetapi mau jadi instruktur,” kata dia. Vokasional training Menteri Hanif melihat pentingnya memperbaiki akses dan mutu vokasional training bagi siswa SMK. Ketiga hal itu yakni kualitas, kuantitas dan persebaran yang merata.